Agraria

Oleh     : Ahmad Iqbal F
Universitas Jember
BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang Masalah
       Negara merupakan  salah  satu faktor  penting  penyebab  konflik  agraria,  sementara  solusi  konflik itu  sangat  tergantung  pula  kepadanya  (lihat:  Bachriadi,  2001,  Lucas,  1997a,  Ruwiastuti,  1997, Fauzi,  1999,  Stanley,  1999,  Sakai,  2002  dan  2003,  Afrizal,  2005  dan  2006).  Namun  pada umumnya  analisis  hubungan  negara dengan  konflik  agraria  tidak  dibingkai  dengan  teori  yang jelas,  dan  kalaupun  ada  pada  umumnya  menggunakan  Teori  Marxis,  Teori  Pluralisme  Hukum dan Teori Kebijakan Publik yang  mempunyai kemampuan analisis terbatas. Argumentasi  pokok ketiga  teori  tersebut sebagai  berikut.  Teori  Marxis  menyatakan  bahwa  konflik  agraria  terjadi akibat perkembangan  ekonomi  kapitalis  yang  mengakibatkan  penduduk  terlempar dari  tanahnya (tesis ploretarisasi). Konflik agraria dilihat  sebagai perlawanan penduduk yang tidak punya tan ah atau  yang  tanahnya  dirampas  kepada  kapitalis.  Negara  ditempatkan  sebagai instrumen  kapitalis. Di  pihak  lain, Teori  Pluralisme  Hukum  memandang  konflik  agraria  terjadi  akibat  adanya  lebih dari  satu  hukum  yang  kontradiktif  yang  dipakai  oleh  berbagai pihak, terutama hukum adat dan hukum  negara.  Hukum  negara  dipahami  memberikan  kekuatan  kepada  negara  untuk mendelegitimasi  hak-hak  komunitas  lokal, sementara komuniats  lokal menggunakan hukum  adat untuk  membenarkan  hak-hak  mereka  (Benda -Beckmann  &  Benda-Beckmann,  1999:6, Ruwiyastuti,  1997,  Biezeveld,  2001).  Teori  Kebijakan  Publik,  yang  juga  banyak  dipakai, menegaskan  bahwa  konflik  agraria  terjadi  akibat  adanya  kebijakan  tetentu  dari  negara,  seperti kebijakan pembangunan dan revolusi hijau. Ketiga  teori  tersebut  mempunyai  penjelasan  yang  terbatas.  Apabila  menggunakan  Teori Marxis, perhatian diberikan kepada konflik antar dua kelas, yaitu konflik antar kelas pemilik atau pengontrol  tanah  dengan  kelas  yang  tidak  memiliki  tanah. Keterlibatan  negara  dalam  konflik agraria  dilihat  sebagai  konsekuensi  dari  perkembangan  ekonomi  kapitalis  di  suatu  masyarakat dimana  negara  berprilaku  sebagai  instrumen  kapitalis.  Teori  Kebijakan  Publik  mengarahkan peneliti  untuk  menganalisis  konsekuensi  dari  kebijakan  negara  dan  inilah  yang   dilihat  sebagai penyebab  konflik  agraria.  Apabila  menggunakan  Teori  Pluralisme  Hukum  maka  akan  terlihat konflik  agraria  akibat  dari  pertentangan  hukum  yang  dibuat  oleh  negara  dengan  hukum  adat, mengakibatkan hukumnya menjadi sentral analisis (Afrizal, 20 05a:13-27).  Ketiga teori ini tidak dapat dipakai untuk mengkaji konflik agraria akibat dari pengaruh negara yang makin kuat dalam masyarakat  sipil  yang  disebabkan  oleh  negara  modern  yang  penetratif.  Dapat  disimpulkan berdasarkan  penelitian  ini  bahwa  teori  yang  dapat  dipakai  untuk  menjelaskan  negara  sebagai penyebab konflik agraria dan penentu resolusinya adalah teori formasi negara.
Teori Formasi Negara
       Konsep  formasi  negara  yang  dipakai  dalam  artikel  ini  mengacu  kepada  perkembangan  Negara dalam  menjalankan  fungsi-fungsinya serta  perluasan  jangkauannya  terhadap  masyarakat  sipil. Schiller  (1996)  memakai  konsep  ini  untuk  menjelaskan  makin  kuat  dan  makin  berpengaruhnya negara  dalam  urusan  masyarakat  sipil  di  Jepara  sebagai  konsekuensi  dari  perluasan  peran pemerintah  kabupaten  setempat. Hal-hal  yang dulu diluar  dari jangkauan negara, kemudian  telah berada dibawah  intervensi negara, hal -hal yang dulu tidak diatur  oleh negara menjadi diatur oleh negara.  Sama dengan  Schiller,  Lounela (2002:51 -78) dan  Agrawal  (2001) menggunakan  konsep ini  untuk  mengetahui  betapa  negara  semakin  besar  pengaruhnya  dalam  mengatur  wilayah  yang biasanya  menjadi  urusan  masyarakat  lokal.  Dalam  kajiannya  mengenai  hutan,  mereka mengungkapkan  bahwa  hutan  yang  dulu  dikelola  oleh rakyat,  sekarang  diintervensi  oleh  Negara dan  telah  diurus  oleh  lembaga  negara  dengan  mengesampingkan  pengelolaan  oleh  komunitas adat. Formasi negara dengan demikian mengacu: kepada aktivitas-aktivitas negara yang berakibat terhadap  formalisasi  dan  sistematisasi  tindak an  sosial  dan  dengan  demikian  mempertegas pembagian  kerja  antara  negara  dan  masyarakat.  Hal  ini  meliputi  (a)  penciptaan  peraturan  baru untuk mempertegas batasan apa yang diperbolehkan oleh negara dan apa yang tidak, (b) institusi untuk  menjalankan  aturan tersebut.  Pejabat  negara  menjadi  interpreter  dan  pemaksa  (Agrawal, 2001:12-13).
 Negara Penetratif
       Negara modern adalah aktor pengatur utama dan  mengatur banyak hal kehidupan sosial (Torpey, 1998:242-23).  Dalam  hal ini, memakai  konsepnya Schiller (2003:5 ),  negara modern  merupakan negara  penentu  daya ( powerhouse  state). Umpamanya, negara  memainkan  peranan  penting  bagi berjalannya  pasar  dan  transformasi  per -tanian  (Petras  &  Veltmeyer,  2002:43). Sejalan  dengan itu,  Giddens  (1987)  mengungkapkan  bahwa  negara dalam  masyarakat  modern  adalah  actor pendefinisi  utama  realitas  sosial.  Rakyat  tidak  boleh  melakukan  sesuatu,  sedangkan  Negara diperbolehkan  oleh  negara  itu  sendiri.    Sebagai  contoh,  katanya,  penggunaan  kekerasan  oleh negara  merupakan  tindakan  yang  sah  men urut  negara,  sedangkan  penggunaan  kekerasan  oleh masyarakat sipil dianggap melawan hukum oleh negara.
       Mengapa  negara  makin  masuk  ke  dalam  kehidupan  masyarakat  sipil ?  Salah  satu  pandangan adalah masuknya negara untuk mengurus  kehidupan masyarakat sipil merupakan tendensi umum dalam  masyarakat  moderen  disebabkan  oleh  kebutuhan  negara  itu  sendiri.  Pertama,  aparatur negara  merangkul  dan  mengontrol  masyarakat  sipil  untuk  tujuan -tujuan  politis.  Negara  perlu mengurus  masyarakat  sipil  guna  mengontrol  berbagai  elemen  dalam  masyarakat  sipil  yang membahayakan  kekuasaan  rezim  yang  berkuasa  seperti  kejadian  selama  rezim  Orde  Baru berkuasa  di  Indonesia  (Hadiwinata, 2003:55;  Masoe’d  ,1989:166;  dan  Boileau, 1983:7).  Kedua, negara  mengintervensi  kehidupan  masyarakat  madani untuk  kepentingan  ekonomis  aparatur negara  itu  sendiri.  Dalam  kajiannya  mengenai  hubungan  negara  dengan  masyarakat  sipil  di Jepara,  Schiller  (1996:266-267)  menunjukkan  bahwa  makin banyaknya  program-program pembangunan yang berhasil diraih oleh pemerintah setempat dari pemerintah pusat untuk mereka lakukan  sendiri  di  kabupaten  Jepara  telah  mendatangkan  keuntungan  ekonomis  bagi  pejabat-pejabat  setempat.  Ketiga,  negara  juga  perlu mengintervensi masyarakat sipil untuk menyukseskan program-program  pembangunannya  untuk  meraih  sumber  pendapatan baginya (Lindblom, 1977:170-188 dan Torpey, 1998: 244).
Formasi Negara dan Konflik
       Formasi negara dapat menimbulkan konflik antara negara dengan masyarakat sipil (Scott, 1993). Pertama  adalah  karena  konsekuensi  dari  per aturan  yang  dibuat  oleh  negara  untuk  membela kepentingannya.  Negara  membuat  aturan-aturan  dan  memaksakan  aturan-aturan  tersebut  untuk diterima  oleh  masyarakat  sipil  dan  di  berbagai  tempat  menyingkirkan  hukum  adat.  Penerapan aturan-aturan negara  ini ada  ya ng  merugikan  kepentingan-kepentingan masyarakat  sipil  tersebut yang  mengakibatkan  mereka  melawan    negara  untuk  membela  haknya  (Benda-Beckmann  & Benda-Beckmann, 1999:6 dan Ruwiyastuti, 1997).  Sebagai contoh, pemerintah pusat  membuat kebijakan  bahwa hutan-hutan  tertentu  dikontrol oleh  Perhutani (PP  No. 35/1963),  kebijakan ini mendapat  perlawanan dari  komunitas sekitar  hutan  di Wonosobo  karena akses  mereka  terhadap hutan  terhambat  (Bachriadi  &  Lucas,  2002:100 -106).  Kedua,  konflik  antara  masyarakat  sipil dengan  negara  akibat  cara  yang  dilakukan  oleh  aparatur  negara  dalam  mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya,  program-programnya  atau  peranan-peranannya.  Sebagai  contoh, aparatur negara  sering  mengambil alih secara  paksa tanah dari  tangan penduduk  setempat ketika mereka menjadi panitia pembebasan tanah untuk apa yang disebut sebagai  proyek pembangunan (Lucas, 1997; Stanley, 1999; Bachriadi & Lucas, 2001; Hafid, 2001; Nuh & Collins, 2001; Sakai, 2002, Warren, 2002; dan 2003 dan Ngadisah, 2003).

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Agen Pembebasan Tanah
       Di Indonesia, menurut undang-undang, negara  berkuasa penuh  berkenaan dengan pengalokasian tanah.  Pasal  18  UUPA/1960  menyatakan:  “Untuk  kepentingan  umum,  termasuk  kepentingan bangsa  dan  negara  serta  kepentingan  bersama  dari  rakyat,  hak -hak  atas  tanah    dapat  dicabut, dengan  memberikan  ganti  rugi  kerugian  yang  layak  dan  menuruti  cara-cara  yang  diatur  oleh undang-undang”. Badan  yang  hanya boleh mencabut hak -hak atas  tanah tersebut  adalah  negara. Hal ini juga mengandung  arti, negara  menjadi aktor yang bukan saja  mengatur orang, melainkan juga mengatur  tanah di Indonesia. Dia  bukan  hanya mengatur  tanah  miliknya sendiri,  melainkan juga  mengatur  tanah  yang  dimiliki  oleh  rakyatnya. Inilah  yang  disebut  sebagai  negara menjadi penguasa tertinggi atas tanah di Indonesia.
       Sebagai wujud dari peran pengatur tanah  seperti yang diamanatkan UUPA  1960  itu, negara di Indonesia  menempatkan  dirinya  sebagai  agen  pembebasan  tanah,  sebagai  agen  untuk  merubah status kepemilikan tanah dan peruntukkan penggunaan tanah. Pemerintah setempat (diketuai oleh gubernur  atau  bupati/wali  kota  dan  terdiri  dari    pejabat    dari  berbagai  instansi)  menjadi  panitia yang  mengorganisasi  penyerahan  tanah  dari  komunitas  setempat  kepada  bisnis  atau  kepada negara  itu  sendiri  (Parlindungan,  1993:43-45).  Untuk  mengetahui  bagaimana  panitia pembebasan  tanah  itu  bekerja  di  lapangan  baca  Stanley  (1994)  dan  Lucas  (1997).  Kemudian Keputusan  Presiden  Republik  Indonesia  Nomor  55  tahun  1993  tentang  Pengadaan  Tanah  Bagi Pelaksana-an  Pembangunan  Untuk  Pem bangunan  Umum  menegaskan  lagi  bahwa  panitia pembebasan  tanah  yang  dibentuk  oleh  pemerintahlah  yang  mengorganisasi  pembebasan  tanah milik rakyat untuk kepentingan umum. Panitia tersebut dibentuk di tingkat propinsi dan di tingkat kabupaten  dan  kota.  Angggota  panitia  pembebasan  tanah  tersebut  terdiri  dari  pejabat-pejabat pemerintah  setempat  yang  diketuai  oleh  kepala  daerah.    Artinya,  komunitas  setempat  tidak langsung  bernegosiasi  dengan  investor  atau  dengan  sebuah  instansi  pemerintah  yang membutuhkan  tanah  me reka,  melainkan  melalui  tim  pembebasan  tanah  yang  dibentuk  oleh pemerintah setempat.
       Dari  penjelasan  di  atas  dapatlah  disimpulkan  di  Indonesia  pemerintahlah  yang mengalokasikan  lahan  hutan,  laut,  sungai  dan  tanah  untuk  ditambang  kepada  para  investor dimana  saja  di  republik  ini.  Sebagai  akibatnya,  makin  luas  tanah  yang  telah  diserahkan  Negara kepada pebisnis, dan sebagai  konsekuensinya tentunya aktor yang paling  bertanggung jawab atas akibat-akibat  negatif dari  semua itu adalah negara itu sendiri. Di  sektor perkebunan  saja,  proyek pemerintah  mengalokasikan  tanah  untuk  perkembangan  perkebunan  besar  kelapa  sawit  telah menyebabkan  sampai  tahun  2004  seluas  6.059.441  hektar  tanah  di  kawasan  perdesaan  telah dikontrol  oleh  perusahaan besar perkebunan  kelapa  sawit  di  berbagai  tempat  di  Indonesia.  Kira - kira 19.840.000 hektar tanah lagi direncanakan akan dialokasikan oleh pemerintah propinsi untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit berskala besar tersebut.
2.2 Pengatur Urusan Agraria
       Sebelum mendiskusikan pengaruh formasi negara terhadap konflik agraria di Nagari Kinali, perlu dibahas  formasi  negara  di  Sumatera  Barat  dan  implikasinya  terhadap  manajemen  tanah  di Minangkabau yang memberikan konteks sosial kajian di Nagari Kinali. Penetrasi negara kedalam urusan  pemilikan  tanah  suku  bangsa  Minangkabau  telah  mulai  terjadi  semenjak  periode  akhir penjajahan  Belanda  di  Indonesia. Sebagai respon terhadap tuntutan kapitalis di negerinya  sendiri untuk  mendapatkan  tanah  bagi  perluasan  bisnis  para  kapitalis  setempat,  pemerintahan  colonial Belanda  mengeluarkan  hukum  agraria  pada  tahun  1870  untuk  memungkinkannya  memberikan hak  sewa  jangka  panjang  (erfpacht)  kepada  para  investor  asing  (Benda -Backmann,  1979:210 - 211; Harsono, 1999: 37 -42). Ayat satu undang-undang agraria tersebut berdampak besar terhadap masyarakat  Minangkabau,  karena  undang -undang  tersebut  memuat  Deklarasi  Pemilikan  yang menyatakan bahwa  semua  tanah  yang tidak bisa  dibuktikan kepemilikannya adalah tanah negara. Hal ini mengingkari hukum adat setempat termasuk hukum adat Minangkabau perihal pemilikan tanah  karena  Deklarasi  Pemilikan  itu  tidak  mengakui  bukti  kepemilikan tanah  menurut  hokum adat Minangkabau (Harsono, 1999:41 -42).
        Deklarasi  Pemilikan  ini  diimplementasikan  pada  tahun  1874  di  Minangkabau  (Amran, 1985:267  dan  Benda-Beckmann  &  Benda-Beckmann,  2001:27)  dan  ini  bertentangan  dengan hukum  adat Minangkabau  (Benda -Beckmann, 1974:211). Sehingga,  Gubernur Pantai Barat pada saat itu, J.  Ballot,  berkeberatan dengan implementasi  undang-undang tersebut di Sumatera Barat dengan  alasan  undang-undang  itu  bertentangan  dengan  prinsip  dasar  hukum  adat  Minangkabau (Kahn,  1993:187-208),  disebabkan  oleh,  menurut  hukum  adat  Minangkabau,  tidak  ada  tanah dalam  wilayah  suatu  nagari  yang  tidak  bertuan.  Baik  tanah  yang  digarap  maupun  yang  tidak adalah  milik  komunitas  sebuah  nagari  (Pak,  1986:480;  Dt. Perpatih  Nan  Tuo,  1999:8;  Durin 2000;  Sjahmunir,  2000).  Akibat  implementasi  Deklarasi  Pemilikan  di  atas,  semua  tanah  kecuali yang  digarap  oleh  penduduk  sebuah  nagari  diklaim  oleh  pemeri ntah  kolonial  Belanda  sebagai milik  negara,  dan,  akibatnya,  dari  sudut pandang  hukum pemerintah kolonial Belanda  sah  untuk memberikan  hak  pakai  jangka  panjang  atas  tanah  tersebut  kepada  para  investor  asing  (Benda - Beckmann, 1979:211; Kahn, 1993:205 -211).
       Kemudian, pada tahun 1960 peme -rintah Indonesia pasca penjajahan mengeluarkan Undang-undang  Agraria baru (UUPA 1960).   Berbeda dari  Deklarasi  Pemilikan, UUPA 1960 mengakui keberadaan tanah ulayat  dan  sekaligus  mengakui penggunaan  hukum adat untuk  pengatur an dan pemanfaatan    tanah  ulayat  tersebut  (Sumarjono,  2000:55).  Akan  tetapi,  dipihak  lain,  UUPA memberikan  kekuasaan  yang  sangat  kuat  kepada  negara  untuk  mengintervensi  dan  mengatur penggunaan  tanah  ulayat,  yang  nanti  akan  dijelaskan  menimbulkan  berbagai  m asalah  dalam pelaksanaannya. Menurut UUPA, untuk kepentingan umum, negara  dapat  mengatur  penggunaan tanah  ulayat.  Bukan  hanya  itu,  berkat  undang-undang  itu  (melalui  pasal-pasal    konversi) pemerintah  Indonesia  merdeka  melegitimasi  negaraisasi  tanah  ulayat yang  dilakukan  oleh pemerintah  kolonial  Belanda.  Artinya,  pemerintah  Indonesia  merdeka  meneruskan  kebijakan pemerintah  kolonial  untuk  menjajah  hak-hak  komunitas  adat  dengan  berbagai  pembenaran. Konsekuen-sinya,  menurut  pemerintah  Indonesia,  tanah  yang  telah  dikuasai  oleh  seseorang dengan  hak  yang  telah  diberikan  oleh  pemerintah  kolonial,  seperti  hak erfpacht,  ditetapkan sebagai tanah Negara.
       Lokasi penelitian di Nagari Kinali, Kecamatan Kinali (dulu termasuk kabupaten Pasaman dan sekarang  di  bawah  kabupaten  Pasaman  Barat).  Nagari  ini  dipilih  karena  dua  alasan;  alasan pertama adalah nagari ini merupakan salah satu pusat perkebunan kelapa sawit di Sumatera Barat; alasan kedua adalah baik sebelum reformasi maupun setelah  reformasi konflik agraria antara perkebunan  kelapa  sawit  dengan  penduduik  setempat  banyak  terjadi.  Penelitian  memakai  metode kualitatif dengan  teknik  pengumpulan data  utama  wawancara  mendalam  dan  analisis  dokumen. Informan-informan  penelitian  terdiri  dari  berbagai  kalangan  seperti  para  pemimpin  kaum  dan anggota  kaum  yang  memprotes,  pemerintah  nagari,  pihak  perusahaan  dan  dari  kalangan pemerintah  kabupaten  seperti  pejabat  BPN  setempat,  kantor  tata  pemerintahan  dan  Sekwilda setempat,  serta  ketua  dan  anggota  DPRD.  Berbagai  dokumen  yang  relevan, seperti  surat-menyurat,  laporan  dan  peraturan  daerah,  telah  dikumpulkan  dan  dianalisis.  Seperti  lazimnya sebuah  penelitian  kualitatif,  analisis  data  dilakukan  mulai  dari  pengumpulan  data  dengan mempelajari  catatan  setiap  wawancara  mendalam  dan  dokumen  yang   dikumpulkan  sampai penulisan  artikel  ini.  Penelitian  yang  intensif  telah dilakukan  pada  tahun  2002,  kemudian informasi terbaru dikumpulkan sampai awal tahun 2007.
        Penduduk Nagari  Kinali  Menuntut  Kebun  Plasma. Komunitas  Nagari  Kinali  memprotes ketujuh  buah  perusahaan  perkebunan kelapa sawit yang  ada  di  wilayah mereka  dari  tahun  1990 sampai  saat  penelitian  ini  (awal  tahun  2006).  Lebih  dari  50  kali  aksi-aksi  kolektif  untuk menyatakan  tuntutan  dan  penekanan  telah  mereka  lakukan,  pada  umumnya  diarahkan    kepada perusahaan-perusahaan  perkebunan.  Sebanyak  76,0%  aksi-aksi  kolektif  tersebut  dilakukan semenjak  bulan  Juni  1998.  Aksi-aksi  kolektif  tersebut  mereka  lakukan  untuk  memperjuangkan dua  hal.  Pertama,  ninik  mamak  setempat  beserta  anggota  kaumnya  menuntut  kebun  plasma kelapa  sawit  kepada  perusahaan-perusahaan.  Semenjak  tahun  1993,  ABMA (seorang  ninik mamak) dan anggota kaumnya menuntut PT. TSG untuk membangunkan bagi mereka seluas 100 hektar  kebun  kelapa  sawit  dalam  bentuk  plasma  dengan  perusahaan  tersebut.  Kemudian,  pada bulan Juni 1998, datuak MM dan anggota kaumnya juga memprotes perusahaan yang sama untuk meminta  kebun  plasma  kelapa  sawit  seluas  900  hektar  dan  selama  tahun  1998,  20  orang  ninik mamak  Nagari  Kinali  dan  anggota  kaumnya  menuntut  juga  perusahaan yang  sama  untuk membangun bagi mereka kebun plasma kelapa sawit seluas 7.000 hektar.
       Kedua, pada umumnya perusahaan  perkebunan  kelapa sawit  telah membangun kebun plasma, tetapi  dalam hal  ini,  ninik  mamak  Nagari  Kinali  menuntut  perusahaan  perkebunan  kelapa   sawit tersebut  untuk  mengkonversi  (menyerahkan)  kebun  plasma  kelapa  sawit  yang  telah  dibangun oleh  perusahaan  inti  dan  telah  mulai  berproduksi.    Pada  bulan  Mei  1997  dan  Desember  1999, datuak BBS, bertindak sebagai wakil Ketua Kerapatan Adat Nagari setempat, dan ketua koperasi AWM  menulis  surat  kepada  direktur  PT.  AMP  untuk  menyatakan  bahwa  perusahaan  tersebut mesti mentransfer kebun plasma kelapa sawit yang telah dibangun oleh perusahaan tersebut. Juga pada  tanggal  1  dan  4  November  2002,  ratusan  orang Kinali mendemonstrasi Bupati kabupaten Pasaman dan DPRD setempat untuk menyatakan tuntutan mereka tersebut.
        Mengapa  mereka menuntut kebun  plasma?  Alasan komunitas  Nagari  Kinali  menuntut  kebun plasma  adalah  tanah  yang  mereka  berikan  untuk  pembangunan  kebun  ke lapa  sawit  oleh  para investor  adalah  tanah  ulayat milik  mereka yang  tidak mereka  jual kepada para  investor tersebut. Pembayaran  yang  dibuat  oleh  para  investor  kepada  ninik  mamak  setempat  adalah  pembayaran untuk uang adat,  sebagai uang baangku mamak  (uang sebagai tanda pendatang  diterima  sebagai anak  nagari)  dan  dalam  tradisi  setempat  pembayaran  tersebut  disebut  mekanisme adat  diisi limbago  dituang  (adat  dipenuhi  kesepakatan  dibuat).  Kebun  plasma,  dengan  demikian, merupakan  kompensasi  lain  yang  mereka  minta selain  dari uang  adat  atas  tanah  ulayat  yang mereka  serahkan  (sebagian  besar   melalui  pemerintah  setempat)  kepada  para  investor  tersebut.
        Cara yang dipakai oleh orang Nagari Kinali untuk menuntut kebun plasma kelapa sawit beragam. Pertama, mereka berusaha melobi pihak perusahaan dan aparat pemerintah setempat dengan cara mengirim  surat  dan  mendatangi  pejabat-pejabat  setempat,  mulai  dari  kecamatan  sampai  ke kabupaten bahkan sampai ke propinsi Sumatera  Barat.  Setelah  upaya lobi tidak berhasil,  mereka melakukan  upaya  penekanan  dengan  melakukan demonstrasi    sampai  memblokade  aktivitas perusahaan perkebunan sawit untuk memanen sawitnya. Bahkan ada seorang ninik mamak Nagari Kinali yang membawa kasus konfliknya dengan sebuah  perusahaan ke pengadilan negeri  di Kota Padang.
        Penduduk  Nagari  Kinali  Menuntut  “Siliah  Jariah”   Ninik  mamak  beserta  anggota  kaumnya ada yang memprotes perusahaan untuk menuntut siliah jariah yang belum dibayarkan, sedangkan perusahaan  telah  mengolah  lahan  yang  dipersoalkan. Siliah  jariah  adalah  ganti  rugi  jerih  payah atas  tanah  ulayat  yang  diatasnya  ada  lahan  garapan  penduduk.  Tuntutan  itu  dilakukan  karena tanah tersebut tidak dijual, tetapi diberikan hak pakai kepada pihak lain oleh pemilik tanah ulayat. Oleh  karena  itu, siliah  jariah  bukanlah  ganti  rugi  tanah  dalam  artian  pelepasan  hak  atas  tanah, melainkan  kompensasi  untuk  mendapatkan  hak  pakai.  Di  kabupaten  Kuantan  Singingi  propinsi Riau,  kompensasi  yang  sama  disebut upah  tobeh  dan upah  tobang.  Menurut  undang-undang pengadaan  tanah,  ganti  rugi  atas  pembebasan  tanah  bertujuan  untuk  dua  hal,  yaitu  ganti  rugi untuk pelepasan  tanah dan ganti  rugi untuk penyerahan hak. Mungkin  ganti rugi tujuan pertama sama  dengan  konsep siliah  jariah  tersebut.  Orang  Kinali  menuntut siliah  jariah  kepada perusahaan  perkebunan  kelapa  sawit  karena  lahan  yang  dipakai  oleh  perusahaan  bersangkutan adalah tanah ulayat yang hanya dipinjamkan kepada para  investor dan  karena di atas tanah ulayat yang  telah  diserahkan  tersebut  terdapat  tanah  garapan  mereka.  Ada  yang  telah membangun jaringan  irigasi  di  atas  tanah  itu  dan  ada  pula  yang  telah  membuka  areal  persawahan  di  tanah tersebut, seperti yang ditunjukkan oleh tabel 1 berikut ini.
       Berikut  ini  akan  dijelaskan  bahwa  konflik-konflik  agraria  antara  pemilik  tanah  ulayat  di Nagari  Kinali  dan  perusahaan  perkebunan  kelapa  sawit  berskala  besar  berkaitan  erat  dengan formasi negara di Sumatera Barat dan di Nagari Kinali.
       Negara  Sebagai Agen Pembangunan  Perkebunan Kelapa Sawit Berskala  Besar Di Sumatera Barat  telah  dibangun  perkebunan  beskala  besar,  pada  umumnya  perkebunan  kelapa  sawit, semenjak  akhir  1980an  sampai  pertengahan  1990an  diberbagai  kabupaten.  Sampai  tahun  2001 tercatat  ada  sebanyak  55  buah  perkebunan    berskala  besar  di  Sumatera  Barat  yang  mengontrol tanah seluas  336,674 hektar.  Nagari Kinali  merupakan  salah  satu  pusat perkebunan  kelapa  sawit berskala  besar tersebut. Kebun  kelapa sawit  pertama kali  dibangun di nagari  ini pada tahun  1934 (Kementrian  Penerangan  1953:730).  Kemudian  semenjak  akhir  1980an  dan  awal   1990an sebanyak tujuah buah perkebunan kelapa sawit berskala besar dibangun di daerah ini. Enam buah diantaranya dibangun oleh perusahaan swasta nasional dan asing.  Tulisan ini akan memfokuskan  bahasan  terhadap  protes  komunitas  Nagari  Ki nali  terhadap  keenam  perkebunan tersebut.
       Pemerintah  Propinsi  Sumatera  Barat  dan  kabupaten  Pasaman  memainkan  peranan  penting dalam  pembangunan  perkebunan  kelapa  sawit  di  Nagari  Kinali.  Akibat  upaya  dari  kedua pemerintah  tersebutlah  investor-investor  perkebunan  kelapa  sawit  menanamkan  modalnya  di Nagari  Kinali, karena  merekalah   yang  mengundang  investor-investor  tersebut  untuk menanamkan  modalnya  di  Nagari  itu.  Tujuan  manifes  pemerintah  tersebut  adalah  untuk mengembangkan daerah tersebut dan untuk meningkatkan  kesejahteraan penduduk setempat.
       Pemerintah  kabupaten  Pasaman    Sebagai  Agen  Pembebasan  Tanah  Ulayat. Untuk mendapatkan tanah bagi bisnis perkebunannya, para investor tidak  bernegosiasi langsung dengan para  pemilik  tanah,  melainkan  diperantarai  oleh  pemerintah  kabupaten  Pasaman  dengan membentuk tim pembebasan tanah. Dalam  melaksanakan tugasnya sebagai perantara, pemerintah kabupaten  Pasaman membujuk  ninik  mamak  Nagari  Kinali  untuk    bersedia  menyerahkan  tanah ulayat mereka  untuk  dijadikan  lahan perkebunan   kelapa  sawit.  Hasil wawancara  berikut  dengan seorang  tokoh  masyarakat  Kecamatan  Kinali  (NJB)  yang  terlibat  semenjak  awal  dengan pengembangan  perkebunan  kelapa  sawit  di  Kecamatan  Pasaman  umumnya  dan  nagari  Kinali khususnya mengungkapkan bujuk rayu pemerint ah kabupaten Pasaman tersebut: “Pada  pertengahan  1980an,  setelah  mengunjungi  Perkeb unan  Ophier,  calon-calon  investor  swasta perkekebunan sawit  menghub ungi  ninik  mamak dalam  wilayah  Kecamatan  Pasaman  termasuk Nagari Kinali untuk meminta lahan untuk perke bunan sawit. Pada saat itu, para ninik mamak kami menyambut baik niat  mereka  dan  menyarankannya  untuk  menghubungi  Bupati  Pasaman.  Setelah  itu,  Bupati Pasaman  yang  ketika  itu  Rajuddin  Nuh  mengundang  seluruh  ninik  mamak  termasuk  ninik  mamak Nagari  Kinali  untuk  membicarakan  pengembangan  perkebunan  kelapa  sawit  di  daerah  kami.  Bapak Bupati  mencoba  untuk  membujuk  ninik  mamak  untuk  bersedia  menyerahkan  tanah  ulayat  mereka dengan mangatakan bahwa pembangunan perkebunan  kelapa sawit tersebut akan  menguntungkan anak kemanakan  kami  karena  mereka  akan  diberikan  kebun  plasma.  Kami  diyakinkan  oleh  Bapak  Bupati bahwa  apabila  kebun  plasma  telah  menghasilkan,  kami  akan  mendapatkan  pendapatan  tinggi  seperti para petani plasma Ophier”.
        Seperti  yang  akan  dijelasklan berikut ini,  bukan  hanya  membujuk  penduduk tempatan  untuk bersedia  menyerahkan  tanah  ulayat  mereka, pemerintah kabupaten Pasaman memainkan  peranan penting  pula  dalam  proses  pengambil  alihan  tanah  komunitas  Nagari  Kinali  untuk  perkebunan kelapa  sawit.  Secara  keselu ruhan,  tanah  yang  dipakai  oleh  seluruh  perkebunan  kelapa  sawit adalah  tanah  ulayat  kelompok  kekerabatan  setingkat  kaum  Nagari  Kinali  yang  otoritas pengelolaanya  termasuk  penyerahannya  kepada  pihak  luar  berada  ditangan  pimpinan  kaum  itu, yang  disebut ninik mamak  atau datuak.  Di  Pasaman,  ada  dua  model  otoritas  pemimpin  adat terhadap tanah  ulayat;  pertama adalah babingkah adat. Dalam hal ini pemimpin adat  yang punya otoritas  terhadap  tanah  ulayat  adalah  Yang  Dipertuan  sebagai  pemimpin  adat  yang  tertinggi. Dalam  hal  pembebesan  tanah,  peranan ninik  mamak  hanyalah  menyetujuinya,  sedangkan keputusan  berada  ditangan  Yang  Dipertuan; kedua  adalah babingkah  tanah yang berarti  otoritas terhadap  tanah  ulayat  berada  ditangan ninik  mamak,  bukan  ditangan  Yang  Dipertuan.  Nagari Kinali menerapkan model babingkah tanah.
       Ada  dua  model  penyerahan  tanah  dari  ninik  mamak  Nagari  Kinali  ke  para  investor  yaitu langsung  dan  tidak  langsung.  Dalam  model  penyerahan  langsung,  tanah  ulayat  diserahkan langsung  oleh  ninik  mamak  setempat  kep ada  para  investor  yang  diformalkan  dengan  surat pernyataan penyerahah tanah oleh ninik  mamak dan  diketahui oleh Camat Kecamatan Kinali dan Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Kinali. Penyerahan tanah ulayat model pertama ini tidaklah pola umum. Pada umumnya penyerahan tanah  dengan  luas  di  bawah  dari 100 hektar diserahkan dengan model seperti ini, dan pada umumnya tanah tersebut tambahan terhadap tanah yang jauh lebih  luas  yang  telah  diserahkan  sebelumnya  kepada  para  investor.  Model  penyerahan  tanah ulayat  tidak  langsung  kepada  investor  perkebunan  kelapa  sawit  dilakukan  oleh  ninik  mamak Nagari  Kinali  dengan  cara    menyerahkan  tanah  ulayat  terlebih  dahulu  kepada  pemerintah kabupaten  yang kemudian  menyerahkan  tanah tersebut kepada  para investor.  Secara resmi  ninik mamak Nagari Kinali menyerahkan tanahnya kepada Bupati kabupaten Pasaman dan Agam untuk dipergunakan  oleh  para  investor  perkebunan  kelapa  sawit.  Pada  umumnya  tanah  ulayat  nagari kinali  diserahkan  untuk  dipakai  oleh  perusahaan perkebunan  kelapa  sawit  mela lui  model  kedua ini.
       Penyerahan  tanah  dari  ninik  mamak  kepada  pemerintah  kabupaten  Pasaman  dan  Agam diformalisasikan  dengan  surat  pernyataan  penyerahan  tanah  yang  ditandatangani  oleh  ninik mamak  (pemimpin  adat  atau  pemimpin  kekerabatan)  Nagari  Kinali  dan  Bupati  Pasaman  serta Agam.  Kemudian  atas  permintaan  pemerintah  setempat,  ninik  mamak  Nagari  Kinali menandatangani sebuah surat yang namanya Surat Pelepasan Hak, yang isinya sebuah pernyataan bahwa ninik mamak Nagari Kinali  menyerahkan tanah ulayatnya  untu k para investor perkebunan kelapa  sawit.  Surat  ini  diperlukan  oleh  perusahaan  yang  bersangkutan  agar  dapat  mengusulkan untuk  memperoleh  Hak  Guna  Usaha  (HGU)  atas  tanah  itu  kepada  pemerintah,  karena  menurut peraturan negara yang berlaku HGU hanya bisa diberikan atas tanah negara atau tanah yang telah dilepaskan haknya oleh pemiliknya.
       Surat  pernyataan  pelepasan  hak  yang  dibuat  oleh  ninik  mamak  tersebut  dipakai  oleh perusahaan  perkebunan  sebagai  dasar  pengurusan  (alas  hak)  Hak  Guna  Usaha  (HGU).  Tanpa disadari  oleh  ninik  mamak  Nagari  Kinali  dan memang tidak  diberitahu  sebelumnya  oleh  panitia pembebasan  tanah,  Surat  Pelepasan  hak  yang  mereka  serahkan  kepada  pemerintah  setempat berdampak  besar  terhadap  pemilikan  tanah  di  nagari  mereka.  Surat  Pelepasan  Hak  tersebut dipergunakan  oleh  perusahaan -perusahaan  perkebunan  kelapa  sawit  untuk  mengurus  HGU  dari Kementrian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
       Kemudian,  Surat  Pelepasan  Hak  tersebut  dijadikan  alasan  oleh  pemerintah  untuk  dapat mengeluarkan  HGU  bagi  perusahaan  perkebunan  kelapa  sawit  atas  tanah  yang  diserahkan  oleh ninik  mamak  Nagari  Kinali,  karena  surat  pernyataan  tersebut  dianggap  oleh  pemerintah  pusat sebagai bukti kepemilikan atas tanah telah diserahkan oleh ninik mamak setempat kepada negara, sehingga  Menteri  Agraria/Kepala  Badan  Pertanahan  Nasional menyatakan  bahwa  tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah negara eks tanah ulayat.
       Dipihak  lain,  menurut  ninik  mamak  Nagari  Kinali,  penyerahan  tanah  ulayat  kepada pemerintah setempat  bukanlah  baik  jual  beli  maupun  pemindahan  hak  milik  dan  oleh  sebab  itu tanah  tersebut  masih  menjadi  milik  mereka.  Dengan  demikian,  meminta  ninik  mamak menandatangani  Surat  Penyerahan  Tanah  tanpa  mengatakan  kepada  mereka  konsekuensi  dari surat  itu  merupakan  proses  licik  yang  ditempuh  oleh  pejabat  pemerintah  setempat  untuk mengambil  alih  tanah  ulayat  di  Nagari  Kinali  menjadi    tanah  negara.  Aktor-aktor  yang mengorganisiasi penyerahan  tanah dari  ninik  mamak Nagari  Kinali  kepada pemerintah  setempat adalah  Panitia  Pembebasan  Tanah  yang  berisikan  pejabat-pejabat  pemerintah  setempat  dari berbagai  instansi  seperti  Badan  Pertanahan,  Perkebunan,  Kehutanan  dan  Tata  Pemerintahan.
Panitia  ini dipimpin oleh Bupati kabupaten Pasaman.  Panitia inilah yang melakuka n berbagai hal mulai  dari  melobi  ninik  mamak  sampai  membuat  surat  menyurat  penyerahan  tanah  ulayat yang ditandatangani oleh ninik mamak.
       Hak-hak  penduduk  Nagari  Kinali  tidak  dilindungi  ketika  Panitia  Pembebasan  Tanah kabupaten  Pasaman  melakukan  aktivitasnya  untuk  membebaskan  tanah.  Pertama,  hak-hak anggota  kaum  Nagari  Kinali  terhadap  tanah  ulayatnya  tidak  diprioritaskan  oleh  Tim  tersebut. Seperti  yang  akan  dijelaskan  berikut  ini,  ketimbang  berusaha  untuk  melindungi  kepentingan penduduk  Nagari  Kinali,  untuk menguasai  tanah  ulayat  kaum  di  Nagari  Kinali  pemerintah kabupaten Pasaman mengkooptasi elit nagari sebagai strategi pintas.
       Sebagai  sebuah  kesatuan  adat,  Nagari  Kinali  dipimpin  oleh  dua  orang  pimpinan  adat,  yaitu Yang Di Pertuan Kinali dan Ketua Kerapata n Adat (KAN) Nagari Kinali. Yang Di Pertuan Kinali merupakan  seorang  pemimpin  adat  tertinggi  di  nagari  yang  telah  ada  semenjak  lama,  jauh sebelum  KAN ada. Pada waktu proses pengadaan tanah bagi perusahaan perkebunan  dilakukan (1989-1992) baik posisi Yang Di Pertuan Kinali maupun KAN Nagari Kinali diduduki oleh orang yang sama, yaitu Tk. ZB. Akibat menduduki kedua posisi penting ini, Tk. ZB menjadi orang yang sangat  berkuasa  di  Nagari Kinali.pemerintah  kabupaten Pasaman  menggunakan TK. ZB sebagai mediator antara Pemda kabupaten Pasaman dengan ninik mamak setempat, termasuk juga antara ninik  mamak  dengan  perusahaan-perusahaan  perkebunan  kelapa  sawit.  Tk.  ZBlah  orang  yang secara aktif membujuk ninik mamak untuk bersedia menyerahkan tanah ulayatnya.
       Panitia  Pembebasan  Tanah  yang  dibentuk  oleh  Pemda  kabupaten  Pasaman  tidak  langsung bernegosiasi  dengan  ninik  mamak,  melainkan  dengan  Tk.  ZB.  Besarnya  uang  adat  yang  harus dibayar oleh  perusahaan hanya  hasil  perundingan  antara Panitia  dengan Tk. ZB, yang kemudian menginformasikan  besar  uang  adat  tersebut  kepada  ninik  mamak  pemegang  otoritas  atas  tanah ulayat. Pemda  setempat  tidak  membayarkan  uang  adat  langsung  kepada  ninik  mamak  yang bersangkutan, tetapi melalui Tk. ZB. Cara yang  ditempuh oleh  Panitia  Pembebasan Tanah jelas tidak  mengindahkan  prinsip-prinsip  partisipasi  dan  prinsip  persetujuan  dari  anggota  kaum. Disamping itu, cara itu jelas mengingkari undang-undang yang telah ditetapkan oleh  pemerintah. Menurut  ketetapan,  ganti  rugi  diserahkan  langsung  kepada  p emegang  hak  atas  tanah  atau  ahli warisnya yang sah.
       Sebagai akibat dari  menempatkan Tk. ZB  pada  posisi mediator  tersebut  dan  tidak melibatkan anggota  kaum,  pemerintah  setempat  memberikan  peluang  yang  besar  kepada  Tk  ZB  untuk melakukan berbagai  tindakan  manipulatif  untuk keuntungan  dirinya sendiri. Yang terjadi  adalah Tk.  ZB  tidak  memperjuangkan  kepentingan  pemilik  tanah  ulayat,  tetapi  dirinya  sendiri.  Dia memanipulasi  uang  adat,  diperkirakan  sebanyak  Rp  2  miliar.  Dia juga  memanipulasi  dokumen yang berisikan nama-nama calon penerima kebun plasma kelapa sawit dan menjual kuota plasma tersebut  kepada  orang  lain.  Karena  dua  persoalan  itu,  ninik  mamak  Kinali  telah  membuat pengaduan  kepada  Pemda  Pasaman,  tetapi  Pemda  tidak  mengacuhkan  laporan  mereka. Sepertinya,  perbuatan-perbuatan  koruptif  yang  dilakukan  oleh  Tk.  ZB  dibiarkan  oleh  Pemda sebagai pengganti jasanya.
       Kedua,  Panitia Pembebasan tanah kabupaten Pasaman gagal menginventarisasi  adanya  tanah dalam  kawasan  yang  diserahkan  oleh  ninik  mamak  berupa  tanah  garapan  beberapa  orang  ninik mamak. Menurut undang-undang,  Panitia  Pembebasan  Tanah  harus  mengadakan  penelitian  dan inventarisasi  atas  tanah,  bangunan,  tanaman  dan  benda-benda  lain  yang  ada  kaitannya  dengan tanah yang  hak  atas tanah  akan  dilepaskan  atau diserahkan.  Jelas, Panitia gagal mengungkapkan bahwa  di  atas  tanah  ulayat  yang  akan  dibebaskan  ada  tanah  garapan  penduduk.  Hal  ini kelihatannya  karena  anggota  panitia  tidak  mempunyai  kearifan  hukum  adat  Minangkabau mengenai  aturan  main  pembebasan  tanah  ulayat  yang  di  dalamnya  ada  garapan  pemilik. Akibatnya, beberapa orang ninik mamak Nagari Kinali memprotes perusahaan perkebunan kelapa sawit, karena perusahaan ini tidak  membayar siliah jariah  sebagai kompensasi atas tanah  ulayat yang  digarap  oleh  penduduk. Akibatnya,  mereka,  menuntut  perusahaan-perusahaan  perkebunan kelapa sawit untuk membayar siliah jariah.
       Ketiga, untuk  merayu  pimpinan  adat  nagari  kinali  untuk  bersedia  menyerahkan  tanah  ulayat kaum  mereka  untuk  pengembangan  perkebunan  kelapa  sawit,  pemerintah  kabupaten  Pasaman berjanji  kepada  mereka  bahwa  pemimpinan  adat  tersebut  dan  anggota  kaumnya  akan mendapatkan kebun plasma kelapa sawit sebagai konpensasi atas kesediaan mereka menyerahkan tanah  ulayat  mereka  untuk  perusahaan.  Pada  tahun    1989,  ketika   Bupati  Pasaman  menghadiri upacara  penanaman  pertama  kebun  PT.  TSG,  dia  mengulangi  lagi  janji  pemerintah  tersebut kepada  ninik  mamak  Nagari  Kinali  sebagai  pemegang  otoritas  tanah  ulayat  yang  dipakai  oleh perusahaan  tersebut.  Bukan  hanya  Bupati,  direktur  PT .  TSG  pada  saat  itu  juga  berjanji  kepada pemilik  tanah  ulayat  bahwa  mereka  akan  memperoleh  kebun  plasma.  Disayangkan  bahwa pemerintah  setempat  tidak  menuangkan  janji  tersebut  kedalam  surat  penyerahan  7000  hektar tanah  dari  20  orang  ninik  mamak  Nagari  Kinali  kepada  Bupati  Pasaman  untuk  PT.  TSG  pada tahun  1989  dan  1990.  Karena  ketidak  tahuan  dan  terlalu  percaya  kepada  pemerintah  setempat serta mungkin  juga karena  tergiur  oleh  uang banyak, ninik mamak  yang  menyerahkan  tanah  itu tidak  mempersoalkan  keabsenan  janji  kebun  plasma  dalam  surat  penyerahan  tanah  itu.    Seperti yang  akan  dijelaskan  nanti,  kelalaian  pemerintah  tersebut  merugikan  pemilik  tanah  ulayat  di Nagari Kinali dan menguntungkan perusahaan yang bersangkutan.
2.3 Respon Pemerintah Kabupaten Pasaman
       Pemerintah kabupaten Pasaman dan DPRD setempat tidak memberikan dukungan yang maksimal untuk mewujudkan tuntutan-tuntuan orang Nagari Kinali, khususnya tuntutan untuk mendapatkan kebun  plasma kelapa  sawit  seperti  yang  akan  didiskusikan berikut  ini.  Sebagai respon  terhadap tuntutan  orang  Nagari  Kinali,  DPRD  kabupaten  Pasaman  menganjurkan  Pemda  setempat  untuk menyelesaikan kasus-kasus konflik antara penduduk nagari di Pasaman Barat dengan perkebunan kelapa  sawit,  termasuk  kasus-kasus  di  nagari  Kinali.  Anggota DPRD  tersebut  ada  juga  yang mengritik  pemerintah kabupaten Pasaman dengan  mengatakan mereka  telah lalai menyelesaikan konflik  dan  tidak  serius  menyelesaikan  konflik -konflik  perkebunan  yang  terjadi.  Akan  tetapi, respon mereka  hanya sebatas anjuran dan kri tikan. Baik  DPRD sebagai sebuah lembaga maupun anggota-anggotanya  tidak  ada  yang  berusaha  untuk  memediasi  antara  orang  Nagari  Kinali, perkebunan  Kelapa  sawit  dan  pemerintah  setempat  untuk  mencari  cara  untuk  menyelesaikan konflik yang terjadi.
      Pemerintah  kabupaten  Pasaman  sendiri  berkeberatan  untuk  mendorong  perusaan  untuk mengambulkan  permintaan  orang  Kinali  akan  perkebunan  plasma  kelapa  sawit,  berdasarkan alasan  tidak adanya  perjanjian  tertulis  bahwa  perusahaan  bersangkutan  berjanji  memberikan perkebunan  plasma  kepada mereka.  Pada  pertengahan  tahun  1998  atas  desakan datuak  MM dan anggota kaumnya,  menajemen  PT.  TSG membuat  perjanjian tertulis dengan datuak MM  bahwa untuk  menyelesaikan  konflik  antara  mereka  PT.  TSG  berjanji  untuk  membangun  124  hektar kebun plasma kelapa  sawit,  yang  biayanya  ditanggulangi  sendiri  oleh  perusahaan  bersangkutan,untuk anggota kaum datuak  MM.
       Ironisnya,  pemerintah  kabupaten  Pasaman  tidak  mengakui  perjanjian  tersebut,  pada  hal perjanjian  itu  menguntungkan  rakyatnya.  Bagi  pemerintah   setempat,  perjanjian  yang  mereka maksud  adalah  perjanjian  tertulis  ketika  proses  penyerahan  tanah  antara  PT. TSG  dengan ninik mamak  Kinali.  Padahal,  pada  tahun  1989,  ketika  Bupati  yang  disebutkan  diatas  menghadiri upacara penanaman pertama kelapa sawit di perkebunan perusahaan, dalam kata sambutannya dia mengatakan bahwa PT. TSG  akan  membangun kebun  plasma  untuk para  pemilik  tanah,  dan  hal yang sama juga dikatakan oleh Direktur PT. TSG.
       Jadi  pemerintah  kabupaten  Pasaman  semenjak  awal  telah  menyadari  bahwa  pemilik  tanah ulayat  Nagari  Kinali  perlu  mendapatkan  kebun  plasma.  Dengan  demikian,  sesungguhnya, keabsenan  perjanjian  tertulis  yang  dipersoalkan  oleh  PT.  TSG  merupakan  kesalahan  Tim Pembebasan  Tanah  kabupaten  Pasaman,  yang  adalah  representatif  Pemda  itu sendiri,  karena merekalah  yang  mengorganisasi  penyerahan  tanah  dari  ninik  mamak  Nagari  Kinali  kepada  PT. TSG.  Oleh  karena  itulah  ketua  DPRD  kabupaten  Pasaman  berpendapat  bahwa  konflik  antara orang kinali dengan perusahaan  perkebunan  kelapa sawit akibat kesalahan  pemerintah terdahulu. Semua  itu  memperlihatkan  bahwa  penyelesaian  protes  orang  Nagari  Kinali  terhadap  PT.  TSGmenguntungkan  perusahaan  bersangkutan, karena  kegagalan  pemerintah  setempat memasukkan janjinya  dan PT. TSG  untuk  menyediakan  kebun plasma  bagi  pemilik  tanah ulayat  telah  dipergunakan  oleh  manajemen  PT.  TSG untuk  tidak membangun kebun  plasma  untuk  pemilik  tanah ulayat yang telah menyerahkan  7000 hektar tanah  ulayatnya  melalui  Bupati  Pasaman untuk  PT. TSG. Seperti yang telah disinggung diatas, sebagai respon terhadap aksi-aksi protes kaum datuak MM, PT. TSG membuat kesepakatan tertulis dengan datuak MM pada 22  Juni 1998 bahwa  yang pertama  akan  membangun  124  hektar  kebun  plasma  untuk  62  orang anggota kaum  pihak  kedua dengan dana  pihak  pertama.  Tetapi,  delapan  tahun  kemudian, sampai  awal  2005,  kebun plasma tersebut  belum  juga  dibangun  perusahaan  bersangkutan.  Pada  tahun  2004,  PT.  TSG  dijual menajemennya  kepada  sebuah  perusahaan  lain  tanpa  sepengetahuan  pimpinan  adat  pemilik tanahnya. Tentu peroalannya akan bertambah komplek dimasa yang akan dating.
       Tidak Mengkonversi Kebun  Plasma Proses  penyerahan  tanah  ulayat  untuk  perusahaan perkebunan  yang  lain  dilakukan  setelah  pengadaan  tanah  untuk  PT.  TSG  selesai,  seperti  untuk PT. AMP, PT. TR dan PT.  PANP. Berbeda dengan kasus PT. TSG, dalam surat penyerahan tanah dari ninik mamak Nagari Kinali kepada Bupati Pasaman dan Agam untuk perusahaan perkebunan tersebut  dinyatakan  secara  explisit  bahwa  pemilik  tanah  ulayat  akan  diberikan  kebun  plasma. Sesuai dengan  janji,  perusahaan-perusahaan  tersebut  telah  membangun  kebun  plasma  kelapa sawit    untuk  pemilik  tanah  ulayat  dan  kebun  tersebut  telah  mulai  berproduksi.
    Namun  kebun tersebut  belum  dikonversi  (belum  diserahkan  kepada  calon  pemiliknya),  karena  itu kebun tersebut  terus  dikontrol  dan  dipanen  oleh  perusahaan.  Alasan  baik  yang  dikemukan  oleh perusahaan  maupun  pemerintah  setempat  mengapa  kebun  plasma  belum  dikonversi  adalah keanggotaan  dan  koperasi petani plasma belum  terbentuk. Semua ini disebabkan oleh  para calon penerima kebun plasma merupakan persoalan yang  pelik.  Ketentuan awalnya  adalah calon-calon penerima kebun plasma berasal dari anggota kaum pemilik tanah ulayat. Namun,  kemudian,  berbagai  manipulasi  nama-nama  calon  penerima  kebun  plasma  kelapa sawit  itu  terjadi.  Sebagai  contoh,  seorang  pemimpin  adat  setempat  yang  dipercayai    penduduk Kinali  memanipulasi  nama-nama  calon  penerima  kebun  plasma  ketika  dia  diberi  amanah  oleh ninik  mamak  Kinali untuk  menyampaikan dokumen  yang  berisikan  nama-nama  calon  penerima kebun  plasma  tersebut  ke  pemerintah  Kabupaen  Pasaman.  Dia  menjual  kuota  tersebut  kepada orang lain.
       Persoalan  calon  penerima  kebun  plasma  sesungguhnya  tidak  dapat  dituduhkan  kepada penduduk setempat saja, karena perbuatan pimpinan  adat yang  mem ani-pulasi nama -nama calon penerima  kebun  plasma  dimungkinkan  oleh  kelalaian  pemerintah  kabupaten  Pasaman.  Hal  ini disebabkan  oleh  karena,  menurut  peraturan  (Ahmad,  1998:143 -143  Soetrisno,  1991:102-115, Basyar,  1999:67), pemerintah  kabupaten  Pasaman  bertanggung jawab  merekrut  anggota  plasma. Persoalan  yang  berkaitan  dengan  rekrutmen  para  calon  penerima  kebun  plasma,  dengan demikian, adalah berarti kegagalan pemerintah daerah kabupaten Pasaman  itu sendiri. Disamping itu,  pengorganisasi  pengkonversian  kebun plasma  kepada  para  calon  pemilik  merupakan  tugas Pemda  pula  (Ahmad,  1998:143 -143,  Soetrisno,  1991:102 -115,  Basyar,  1999:67).  Karena  itu, persoalan-persoalan berkenaan dengan pengkonversian kebun plasma merupakan tanggung jawab pemerintah dalam pembangunan perkebunan dengan model inti-plasma di Nagari Kinali.
      Sampai  awal  tahun  2007,  pemerintah  kabupaten  tidak  melakukan  tugasnya  untuk mengkonversi  kebun  plasma  kelapa  sawit  ke  calon  penerima  di  Nagari  Kinali.  Pada  hal,  pada akhir  1999,  merespon  tuntutan  dari penduduk  Nagari  Kinali,  Bupati  kabupaten  Pasaman  telah menyatakan  persetujuannya  bahwa  kebun  plasma  kelapa  sawit  yang  telah  berproduski  untuk ditransfer  kepemilikannya  dan  pengelolaannya  kepada  calon  penerima  di  Nagari  Kinali. Tambahan  lagi,  menurut  inform asi  dari  kantor  Kecamatan  Kinali,  pada  tahun  2001  kira-kira 1120 hektar kebun plasma kelapa sawit sudah pantas untuk dikonversi.
       Pada  tahun  2004,  kabupaten  Pasaman  dimekarkan  menjadi  dua  kabupaten  yakni,  kabupaten Pasaman  dan  kabupaten  Pasaman  Barat.  Nagari  Kinali  setelah  pemekaran  masuk  wilayah kabupaten  baru.  Tidak  ada  perubahan  berarti bagi  penduduk  kinali  untuk  mendapatkan  hak-hak mereka pasca pemekaran kabupaten ini sampai awal tahun 2007.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
       Hasil penelitian di sebuah komunitas perdesaan  pusat perkebunan kelapa sawit berskala  besar   di propinsi  Sumatera  Barat  menunjukkan  bahwa  teori  formasi  negara  berguna  untuk  menjelaskan konflik  agraria. Contoh  kasus  protes  komunitas  Nagari  Kinali  terhadap  perusahaan-perusahaan perkebunan  kelapa  sawit  memperlihatkan  bahwa  protes  tersebut  merupakan konsekuensi laten dari makin berkembangnya  pengaruh negara  terhadap masyarakat  sipil di  Sumatera Barat  pada umumnya dan  di  Nagari  Kinali  khususnya dalam  urusan-urusan  agraria  yang  dilakukan  dengan cara yang tidak mengindahkan kepentingan komunitas setempat.
       Telah  ditunjukkan  bahwa  pemerintah  propinsi  Sumatera  Barat  dan  Pemerintah  kabupaten Pasaman bertindak sebagai  fasilitator pengembangan  perkebunan   kelapa  sawit  di  Nagari Kinali dengan  cara  mengundang  para  in vestor,  mengorganisasi  penyediaan  tanah  bagi  para  investor perkebunan  dan  memperantarai  antara  investor-investor  perkebunan  kelapa  sawit  dengan komunitas  Nagari  Kinali.  Pengorganisasian  penyerahan  tanah  dari  para pimpinan adat  setempat sebagai  pemegang  otoritas  tanah  ulayat  kepada  para  investor  perkebunan  dilakukan  pula  oleh pemerintah kabupaten.
       Konflik  antara  penduduk  Nagari  Kinali  dengan  perusahaan-perusahaan  perkebunan  kelapa sawit terjadi karena  dalam melaksanakan perannya  sebagai fasilitator pengemb angan  perkebunan kelapa sawit, pemerintah  kabupaten  Pasaman gagal memprioritaskan kepentingan pemilik  tanah ulayat  dan  tidak  melakukan  tugasnya  dengan    baik  dalam  menyelenggarakan  pembangunan Perkebunan  Inti  Rakyat  di  Nagari  Kinali.  Setelah  gagal  memprioritaskan  kepentingan  pemilik tanah  ulayat,  pemerintah  kabupaten  setempat  tidak  melakukan  upaya  untuk  mengabulkan permintaan pemilik tanah tersebut, walaupun mereka telah berjanji ketika proses pengadaan tanah berlangsung.

Tidak ada komentar: